Cerpen "Sebening Telaga"

Sebening Telaga

Pagi hari, matahari terlihat cerah menampakkan sinarnya yang senantiasa menyinari bumi hingga membuat keindahan didalamnya.
Aku sedang memakai dan menali tali sepatuku serta menyiapkan diri untuk menjalankan aktifitas rutin yang kulakukan setiap hari minggu, berolahraga. Aku berlari-lari kecil melewati jalan-jalan sempit menuju tempatku biasa berkumpul dengan teman-teman sebayaku bermain sepak bola bersama di lapangan yang luas di dekat balai desa.
Saat ingin sampai tujuan, terlihat Adiet sedang berteduh duduk di kursi rodanya dibawah pohon yang rindang melihat kawan-kawannya yang sedang asyik dan bergembira ria bermain sepak bola. Wajahnya termenung, sesekali ia tersenyum kecil melihat mereka yang jatuh karena saling berebut bola.
Sudah lama sekali aku tak melihatnya keluar rumah semenjak kakinya lumpuh dan harus duduk di kursi roda. Kuhampiri ia segera tuk bertegur sapa menanyakan kabarnya. Ia terkejut saat tiba-tiba aku sudah disebelahnya dan menepuk pundaknya. Belum sempat aku mengeluarkan sepatah kata, tiba-tiba ia pergi dan menjauhi diriku.
Melihat apa yang dilakukannya membuata diriku merasa bersalah. Tiba-tiba aku segera teringat atas kejadian tragis yang membuat ia lumpuh dan tidak bisa menggerakkan kakinya. Waktu itu hujan baru saja reda. Aku dan Adiet sedang berpergian menuju sungai untuk memancing, karena setiap habis hujan pasti akan ada banyak ikan.
Sampailah kami di sebuah jembatan dia atas sungai tempat kami ingin memancing, karena hujan tadi, jembatan pun agak licin. Oleh sebab itu, untuk meniti jembatan harus berhati-hati. Tiba-tiba saja dengan isengnya Adiet menggelitik pinggangku, kemudian ia berlari sambil tertawa.
“Jangan berlari-lari, nanti kau jatuh!” teriakanku mengingatkan.
Akan tetapi, terlambat sebab Adiet terpeleset dan terjatuh. Naas tak dapat ditolak. Ia terhempas di atas sungai berbatu. Kakinya berdarah terhimpit batuan kali yang besar. Sungguh amat menyedihkan hingga aku tak mau mengingat kejadian itu lagi.
Keesokan harinya, aku kembali bertemu dengannya di sekolah di depan koridor kelas menyendiri dari teman-teman disekitarnya.
“Hai diet, apa kabarmu? Sudah seminggu ini kau tak masuk sekolah, kemana saja kau?” tanyaku dengan akrab.
Tetapi Adiet hanya diam, kemudian ia pergi dan tak menghiraukanku. Sepeninggal Adiet, aku merenungi diriku.
“Apakah Adiet memusuhiku?” tanyaku dalam hati.
Oh, sungguh aku tak mau bila Adiet memusuhiku. Sungguh rugi orang yang bermusuhan dengan anak sebaik Adiet.
Adiet adalah sahabat terbaik yang pernah kutemui. Kami selalu bersama sejak kecil. Ia anak yang ceria dan selalu menyemangatiku saat aku putus asa. Tetapi semua itu berubah semenjak kejadian itu. Adiet menjadi anak yang pendiam, penyendiri, dan sering sekali melamun. Lincah tingkahnya, wajah cerianya, dan tatapan bening matanya yang mampu membuatku semangat tak pernah lagi kulihat. Itulah sebabnya aku bergegas pergi ke rumah Adiet setelah pulang sekolah nanti.
“Teeettteett..!” suara bel pulang sekolah akhirnya berbunyi.
Aku segera pulang ke rumah kemudian bergegas ke rumah Adiet. Saat sampai dirumahnya kulihat ia sedang duduk membaca buku pelajaran.
“Assalamualaikum!” sapaku.
“Adiet, kita main yuk! Sudah lalma kita tiak bermain bersama.” ajakku.
“Aku tidak ingin!” jawabnya sambil membelakangiku.
Saat itu aku sedikit ingin marah, karena jujur aku tak suka dengan sikap yang dilakukannya.
“Ada apa denganmu diet? Apa yang terjadi denganmu ini?” tanyaku dengan sedikit menggertak.
“Mengapa sikapmu jadi seperti ini?” tanyaku lagi dengan nada pelan.
“Tetapi sekarang berbeda, aku bukan Adiet yang dulu. Aku hanya seorang anak lumpuh yang tidak bisa apa-apa.” Katanya dengan kesal.
“Apanya yang beda? Kau masih Adiet sahabat terbaikku. Jangan hanya karena kekurangan fisikmu membuatmu seperti ini. Mana Adiet yang ceria, penuh semangat yang kukenal dulu” kataku mencoba menenangkannya.
“Benarkah kau masih mau bersahabat denganku?” tanyanya dengan penuh harapan.
“Tentu saja, bersama kita pasti bisa menjadi yang terbaik” jawabku.
“terima kasih. Kau memang sahabat terbaikku.” Katanya dengan mata yang berbinar-binar.
Akhirnya kami bersalaman dan akhirnya aku melihat sebuah tatapan mata yang khas darinya yang sudah lama aku nantikan. Sebuah tatapan mata yang bening, sebening telaga yang terbias oleh pancaran sinar matahari.

Read more

Pengikut